"Kabarkan olehmu (Wahai Muhammad) kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hijr: 49)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw melewati para sahabat yang sedang larut dalam tawa dan canda, lalu beliau menyalami mereka, kemudian bersabda: "Apakah kalian tertawa sedang neraka di hadapan kalian?" Atas nasihat tersebut, para sahabat menyesal atas perbuatannya dan mereka merasa sangat tertekan.
Tak lama kemudian Rasulullah saw kembali kepada mereka dan berkata, "Jibril baru saja mendatangi saya dan menyampaikan bahwa Allah bertanya, mengapa saya menjadikan sebagian hamba-Nya putus asa dari rahmat-Nya?" Setelah itu beliau membaca ayat di atas.
Kata “Al-Ghafur” berasal dari kata dasar gha-fa-ra, sama dengan “Al-Ghaffar” yang sama-sama merupakan nama sekaligus sifat Allah. Sebagian Ulama memberi arti yang sama terhadap keduanya, sebagian lagi menyatakan bahwa cakupan Al-Ghaffar lebih luas dan dalam dibanding Al-Ghafur, dan sebagian lagi sebagaimana pendapatnya Imam Al-Ghazali bahwa Al-Ghafur lebih sempurna dan menyeluruh pengampunannya.
Lepas dari perbedaan tersebut, al-Qur’an tak kurang dari 91 kali menyebut kata Al-Ghafur. Sebagian besar dirangkai dengan nama dan sifat Allah yang lain, sebagian sisanya berdiri sendiri. Dari sekian banyak ayat, kata Al-Ghafuur lebih banyak disandingkan dengan kata Ar-Rahim (tak kurang dari 70 kali). Hal itu memberi kesan bahwa sifat ghafur-Nya lebih merupakan derivasi dari sifat kasih dan sayang-Nya.
Betapa tidak! Allah memberi ampunan kepada setiap mukmin yang bertobat dan bersungguh-sungguh meminta ampunan-Nya. Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shaleh, kemudian ia tetap mengikuti jalan (petunjuk) yang benar." (QS. Thaaha: 82)
Bahkan kepada mereka yang telah melampaui batas dan tidak serta merta meminta ampunan sekalipun, Dia tetap berlapang untuk mengampuninya.
"Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar: 53)
Tentu saja tetap ada batasnya, yaitu syirk. Untuk jenis dosa yang satu itu Allah tak akan memberi ampunan sampai yang bersangkutan bertobat dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirk) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (QS. An-Nisaa: 48)
Sebagai hamba-Nya Al-Ghafur, patut kita meneladani sifat tersebut dengan senantiasa berlapang dada, memberi maaf kepada mereka yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah melakukan kesalahan kepada kita. Kita tetap memberi maaf kepada mereka yang meminta maaf ataupun yang tidak, yang mengakui kesalahannya maupun yang tidak.
Dalam masalah yang satu ini Abu Bakar Ash-Shidiq patut diteladani. Bayangkan, ia tetap berlapang dada dan memberi maaf kepada orang yang telah memfitnah dan merusak nama baik keluarganya, padahal orang tersebut selama ini ditanggung segala kebutuhan hidupnya, termasuk sandang, papan, dan pangannya.
Pada awalnya ia marah, tersinggung, bahkan terlontar suatu sumpah untuk tidak lagi menafkahi orang tersebut, tapi ia segera membatalkannya. Atas sikapnya itu Allah menurunkan firman-Nya:
"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nuur: 22)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw melewati para sahabat yang sedang larut dalam tawa dan canda, lalu beliau menyalami mereka, kemudian bersabda: "Apakah kalian tertawa sedang neraka di hadapan kalian?" Atas nasihat tersebut, para sahabat menyesal atas perbuatannya dan mereka merasa sangat tertekan.
Tak lama kemudian Rasulullah saw kembali kepada mereka dan berkata, "Jibril baru saja mendatangi saya dan menyampaikan bahwa Allah bertanya, mengapa saya menjadikan sebagian hamba-Nya putus asa dari rahmat-Nya?" Setelah itu beliau membaca ayat di atas.
Kata “Al-Ghafur” berasal dari kata dasar gha-fa-ra, sama dengan “Al-Ghaffar” yang sama-sama merupakan nama sekaligus sifat Allah. Sebagian Ulama memberi arti yang sama terhadap keduanya, sebagian lagi menyatakan bahwa cakupan Al-Ghaffar lebih luas dan dalam dibanding Al-Ghafur, dan sebagian lagi sebagaimana pendapatnya Imam Al-Ghazali bahwa Al-Ghafur lebih sempurna dan menyeluruh pengampunannya.
Lepas dari perbedaan tersebut, al-Qur’an tak kurang dari 91 kali menyebut kata Al-Ghafur. Sebagian besar dirangkai dengan nama dan sifat Allah yang lain, sebagian sisanya berdiri sendiri. Dari sekian banyak ayat, kata Al-Ghafuur lebih banyak disandingkan dengan kata Ar-Rahim (tak kurang dari 70 kali). Hal itu memberi kesan bahwa sifat ghafur-Nya lebih merupakan derivasi dari sifat kasih dan sayang-Nya.
Betapa tidak! Allah memberi ampunan kepada setiap mukmin yang bertobat dan bersungguh-sungguh meminta ampunan-Nya. Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shaleh, kemudian ia tetap mengikuti jalan (petunjuk) yang benar." (QS. Thaaha: 82)
Bahkan kepada mereka yang telah melampaui batas dan tidak serta merta meminta ampunan sekalipun, Dia tetap berlapang untuk mengampuninya.
"Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar: 53)
Tentu saja tetap ada batasnya, yaitu syirk. Untuk jenis dosa yang satu itu Allah tak akan memberi ampunan sampai yang bersangkutan bertobat dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirk) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (QS. An-Nisaa: 48)
Sebagai hamba-Nya Al-Ghafur, patut kita meneladani sifat tersebut dengan senantiasa berlapang dada, memberi maaf kepada mereka yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah melakukan kesalahan kepada kita. Kita tetap memberi maaf kepada mereka yang meminta maaf ataupun yang tidak, yang mengakui kesalahannya maupun yang tidak.
Dalam masalah yang satu ini Abu Bakar Ash-Shidiq patut diteladani. Bayangkan, ia tetap berlapang dada dan memberi maaf kepada orang yang telah memfitnah dan merusak nama baik keluarganya, padahal orang tersebut selama ini ditanggung segala kebutuhan hidupnya, termasuk sandang, papan, dan pangannya.
Pada awalnya ia marah, tersinggung, bahkan terlontar suatu sumpah untuk tidak lagi menafkahi orang tersebut, tapi ia segera membatalkannya. Atas sikapnya itu Allah menurunkan firman-Nya:
"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nuur: 22)
0 komentar:
Post a Comment