Monday, April 1, 2013

Al Qaabidh


Sebagian Ulama Islam menganggap kurang etis menyebut Asma Allah Al-Qaabidh tanpa kemudian menyandingkannya dengan Asma Al-Baasith. Menurut mereka, kesempurnaan Allah terletak pada kekuasaan-Nya untuk menahan dan melepas, menyempitkan sekaligus melapangkan. Mereka sangat khawatir jika Al-Qaabidh tidak disandingkan dengan Al-Baasith akan timbul kesan negatif pada citra Allah. Akan tetapi sebagian Ulama lain menyebutkan bahwa boleh-boleh saja menyebut Al-Qaabidh tanpa menyertakan Al-Baasith asal tidak disalah artikan.

Siapa yang bisa menyalahkan Allah ketika menyempitkan rizki seseorang ? Siapa yang bisa menegatifkan citra Allah ketika memendekkan umur hamba-Nya ? Di balik semua kebijakan-Nya terdapat hikmah yang Dia sendiri mengetahui-Nya, sedangkan manusia baru bisa mengambil hikmahnya setelah peristiwanya berlalu.

Al-Qaabidh diambil dari akar kata yang makna awalnya adalah “sesuatu yang diambil” atau “keterhimpunan pada sesuatu”. Makna dasar ini kemudian berkembang sehingga melahirkan makna baru, seperti: menahan, menggenggam, menghalangi, dan menyempitkan. Istilah Al-Qaabidh sendiri tidak dijumpai dalam al-Qur’an sebagai sifat dan asma Allah, kecuali hanya dijumpai dalam bentuk kata kerja yang pelakunya adalah Allah swt, sebagaimana ayat berikut:

“Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sekalipun kata Al-Qaabidh tidak di­jumpai dalam Al-Qur’an, tapi kita bisa menemukannya dalam berbagai riwayat hadits, di antaranya menjelaskan tentang kekuasaan Allah menahan nya­wa hamba-hamba-Nya yang dike­hendaki. “Sesungguhnya Allah menahan nyawa (jiwa) kamu bila Dia menghendaki dan mengembalikannya jika Dia menghendaki”.

Dari uraian di atas, setidaknya kita bisa menyimpulkan untuk sementara bahwa Al-Qaabidh mengandung dua pengertian, yaitu menyempitkan rezeki dan memendekkan umur. Di tangan-Nya segala urusan rizki, dan di dalam genggaman-Nya pula soal nyawa makhluk-Nya. Ketika Dia menahan rizki milik-Nya atas seseorang, hendaklah ia tidak protes, sebab rizki itu milik-Nya dan hak-Nya Dia semata untuk membagikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu, sikap yang baik adalah menerima dan meyakini akan kasih sayang-Nya. Keyakinan itu hendaknya diwujudkan dalam bentuk do’a dan ikhtiyar. Terus berusaha keras dan cerdas untuk memperolehnya, seraya tidak lupa memanjatkan do’a.

Bagi kita, mengenali sifat dan asma Allah Al-Qaabidh ini akan mendorong kita untuk berhati-hati menjalani hidup. Kita tidak akan main-main ketika diserahi titipan jabatan sebagai eksekutif, pengusaha, ulama, hakim, politisi, atau jabatan apapun, sebab bila Allah melihat sesuatu yang tidak beres atas perilaku hamba-hamba-Nya, maka Dia segera mengambil tindakan dengan dua tujuan, yaitu peringatan atau hukuman.

Ketika kita lalai menjalankan tugas atau menyelewengkan amanah karena khilaf, maka untuk memperbaikinya atau untuk mengembalikan kita pada “orbit” yang benar, Allah mengambil tindakan dengan menyempitkan gerak langkah kita melalui berbagai cara. Mulai dari menyempitkan rizki, memberikan rasa sakit, membatasi akses dan kesempatan, sampai pada menjadikan kita sesak dada dengan adanya berbagai tekanan dan himpitan permasalahan. Seorang yang arif ketika menghadapi situasi seperti ini segera menyadari bahwa itu semua adalah teguran Allah, kemudian meresponnya dengan kembali pada jalan yang benar sesuai kehendak-Nya.

Untuk itu kita diajarkan bermunajat kepada-Nya agar diberi hikmah kearifan, rabbi habli hukman (Tuhan, berilah aku hikmah kearifan) (QS. Asy-Syu’araa: 83). Dengan hikmah kearifan itu kita bisa menangkap berbagai bentuk “sinyal” peringatan Allah yang didatangkan kepada kita.

Adapun bagi mereka yang keras kepala atau hatinya telah mati, berbagai peringatan Allah tidak direspon secara positif. Mereka tetap berada di jalan yang sesat, sekalipun peringatan itu datangnya bertubi-tubi. Terhadap mereka ini sudah sepantasnya diberi hukuman.

Hikmah lain dari kesadaran kita terhadap Asma Allah Al-Qaabidh adalah penerimaan kita terhadap segala putusan Allah. Orang-orang yang arif akan memandang bahwa segala sesuatu yang telah diputuskan Allah pasti terbaik. Hal ini mengharuskan kita untuk “ridha”, menerima segala ketetapan Allah dengan lapang dada, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Keridhaan itu merupakan manifestasi dari keyakinan kita kepada taqdir Ilahi. Dengan keridhaan itu, insya-Allah kita akan merasakan sekaligus menikmati lezatnya iman. Wallahu a’lam bish-shawab.

0 komentar:

Post a Comment

◄ Newer Post Older Post ►
 

Copyright 2012 Asma'ul Husna Seo Elite by BLog BamZ | Blogger Templates