Al-Khaafidh berasal dari kata kerja kha-fa-dha, yang berarti merendahkan. Dalam al-Qur’an tidak didapati satu ayat pun yang secara langsung menyebut nama Al-Khaafidh. Meskipun demikian, ditemukan turunan kata itu dalam beberapa ayat, misalnya dalam surat Al-Waqi’ah: 3 yang menggambarkan hari kiamat sebagai ”Khaafidhatur-Raafi’ah”, (pada hari itu Allah ”merendahkan dan meninggikan” derajat manusia). Ada manusia yang saat di dunia memiliki tempat dan kedudukan yang tinggi di depan manusia, tapi oleh Allah pada hari kiamat justru direndahkannya. Sebaliknya, ada yang dalam kehidupan dunianya direndahkan oleh manusia, sementara Allah pada hari itu justru meninggikan derajatnya.
Suatu hari Rasulullah ditanya tentang arti firman ”Setiap saat Dia (Allah) dalam kesibukan” (QS. Ar-Rahman: 29), beliau menjawab: ”Termasuk kesibukan-Nya adalah mengampuni dosa, menghilangkan keresahan, meninggikan kelompok-kelompok manusia, dan merendahkan yang lain”. (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits di atas, kita bisa menangkap makna bahwa Allah swt tidak pernah berhenti beraktifitas. Dia senantiasa sibuk, selain menjaga rotasi alam, juga mengatur kehidupan makhluk istimewa-Nya yang bernama manusia. Dia memberi ampunan pada siapa saja yang bertaubat kepada-Nya, menghilangkan kegelisahan orang-orang yang stres, meninggikan orang yang berprestasi, dan merendahkan manusia dengan berbagai sanksi sosial, moral, dan hukum.
Al-Qur’anul Karim telah menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan kejatuhan, kebangkitan, dan ketinggian.
Berikut ini adalah salah satu ayat yang menjelaskan tentang hukum tersebut:
”Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam kesempurnaan ciptaan, kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya”. (QS. At-Tiin: 5)
Al-Qur’an sangat cermat memilih kata, dipilihnya kata ”Kami” untuk menggambarkan keterlibatan manusia dalam ketinggian dan kerendahan derajatnya. Jika manusia mengoptimalkan fungsi ruh Ilahi –yang dalam al-Qur’an digunakan istilah ”Min Ruuhiy”— untuk mengangkat derajatnya ke tingkat ”ahsanu taqwiim, maka tinggilah derajat kemanusiaannya. Sebaliknya, jika manusia melepaskan diri dari daya tarik ruhnya dan mengikuti daya tarik bumi (gravitasi) sebagaimana makhluk binatang yang hidupnya hanya diperuntukkan bagi pemenuhan makan, minum, dan hubungan seksual semata, maka ia akan meluncur jatuh ke tingkat yang serendah-rendahnya.
Al-Qurthubi dalam al-Asmaul Husna mengingatkan: ”Ketahuilah bahwa yang direndahkan Allah adalah manusia yang terhindar dari taufiq dan pertolongan-Nya, yang diperintah oleh nafsunya, yang tidak memperoleh kebajikan dari Tuhannya. Apabila berusaha kembali kepada-Nya, ia tidak mendapatkan bisikan hati tentang kekuasaan-Nya. Apabila berusaha mendengar bisikan-bisikan hatinya, ia tidak meraih percaya diri atau kelezatan dalam bermunajat dengan-Nya”.
Untuk menjaga keseimbangan dan harmoni kehidupan manusia di muka bumi, Allah swt menerapkan hukum ”reward and punishment”. Hadiah diberikan kepada mereka yang berprestasi, sedang hukuman diberikan kepada mereka yang melanggar aturan. Bisa jadi reward and punishment itu tidak diberikan semasa hidup di dunia ini, tapi yang pasti di akhirat nanti semua orang akan mendapat hadiah dan sanksi. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih akan diangkat derajatnya dengan mendapat kedudukan yang tinggi (surga), sedangkan mereka yang kafir, musyrik, dan munafiq akan diberi sanksi dengan hukuman neraka jahim. Allah menghinakan siapa saja yang layak mendapatkan kehinaan akibat perbuatannya.
0 komentar:
Post a Comment